Beranda | Artikel
Praktek Jarh Wa Tadiil Membutuhkan Taqwa Dan Waro
Selasa, 7 Desember 2010

Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad –hafizhahullaah- berkata, “Termasuk perkara yang sangat disayangkan terjadi di zaman ini adalah apa-apa yang terjadi di kalangan Ahlus Sunnah, berupa ketidakcocokan dan perpecahan, yang mengakibatkan mereka sibuk saling men-tajrih (melukai), men-tahdzir, dan meng-hajr. Yang wajib mereka lakukan adalah usaha mereka diarahkan kepada selain mereka, dari kalangan orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus Sunnah. Hendaknya Ahlus Sunnah bersatu, saling menyayangi, dan saling mengingatkan di antara mereka secara halus dan lembut.” (Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 19)

Syaikh Al-Albani berkata, ((Wahai akhi.. aku nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang –wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang demikian…”.  Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan permusuhan pada hati-hati (kalian).

Yang wajib bagi kalian adalah menuntut ilmu, ilmulah yang akan mengungkap bahwa apakah perkataan yang memuji si fulan karena si fulan ini memiliki banyak kesalahan –misalnya- apakah berhak bagi kita untuk menamakan orang yang memuji si fulan ini sebagai pelaku bid’ah yang kemudian apakah kita hukumi sebagai mubtadi’???, kenapa kita harus terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini??. Aku nasehati (engkau) agar jangan terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini!!. Karena kenyataannya kita mengeluhkan perpecahan yang sekarang terjadi  di antara orang-orang yang berintisab kepada dakwah Al-Kitab dan As-Sunnah atau sebagaimana yang kita katakan sebagai dakwah salafiyah, perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku…

Aku sering sekali ditanya, “Apa pendapatmu tentang fulan?”, dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. Dan terkadang orang yang ditanyakan adalah termasuk ikhwan-ikhwan kita. Dan terkadang orang yang ditanyakan termasuk diantara ikhwan-ikhwan lama kita yang dikatakan dia telah menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??

Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, siapa yang benar dan siapa yang salah.!!! Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudaramu sesama muslim hanya dikarenakan ia bersalah atau kita katakan ia telah munharif (menyimpang). Akan tetapi ia menyimpang dalam dua atau tiga permasalahan, adapun permasalahan-permasalahan yang lain ia tidak menyimpang…)) (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset 784)

Kalau kita perhatikan kenyataan yang ada pada medan dakwah di Indonesia, kita dapati bahwa salah satu sebab terbesar yang menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus Sunnah, terhambatnya penyebaran dakwah, dan tertawanya ahli bid’ah -karena mengejek Ahlus Sunnah yang menyeru kepada persatuan tetapi mereka sendiri tidak bersatu- adalah penerapan hajr yang dilakukan secara sembarangan, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para ulama. Penerapan hajr secara membabi buta ini diterapkan oleh sebagian Ahlus Sunnah yang mengaku paling dekat kepada Sunnah, dan kemudian menuduh Ahlus Sunnah lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai ahli bid’ah yang wajib untuk di-hajr (diboikot).

Hal ini wajar, karena banyak dari mereka yang membaca kitab-kitab tanpa bimbingan para ulama besar. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan hajr mubtadi’ (ahli bid’ah), sehingga akhirnya mereka menerapkan hajr secara sembarangan. Ditambah lagi dengan ghirah dan semangat yang sangat besar dalam memberantas bid’ah tanpa dibekali dengan ilmu tentang kaidah-kaidah dalam menghukumi (membid’ahkan) seseorang. Maka yang terjadi adalah pembid’ahan dengan membabi buta dan penghalalan harga diri dan kehormatan kaum muslimin (saudara-saudara mereka sesama Ahlus Sunnah) di depan khalayak umum, atau bahkan saudara-saudara mereka tersebut jadi bahan tertawaan dan lelucon di majelis-majelis mereka. Penerapan yang keliru ini berakibat buruk bagi dakwah salafiyah, bagi kaum muslimin pada umumnya, dan terlebih lagi bagi diri mereka sendiri di akhirat kelak.

Praktek Jarh wa Ta’diil Membutuhkan Taqwa dan Waro’

Memang benar bahwa memperingatkan seseorang dari bahaya seorang mubtadi’ adalah perkara yang wajib demi menjaga syari’at Islam. Sebagaimana para ulama berbicara tentang al-jarh wat ta’diil demi menjaga keutuhan syari’at dari noda-noda bid’ah dan kedustaan.

Ibnus Sholaah berkata, “Pembicaraan tentang hal ini baik jarh maupun ta’diil telah ada sejak dulu dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam kemudian dari banyak sahabat dan tabi’in, kemudian orang-orang setelah mereka. Dan dibolehkan hal ini demi untuk menjaga syari’at dan menolak kesalahan dan kedustaan tentang syari’at…

Dan aku telah meriwayatkan dari Abu Bakar bin Khollad ia berkata, “Aku berkata kepada Yahya bin Sa’iid, “Tidakkah engkau takut mereka yang telah engkau tinggalkan hadits-hadits mereka akan menjadi musuh-musuh engkau pada hari kiamat di hadapan Allah?”. Yahya bin Sa’iid berkata, “Mereka menjadi musuh-musuhku pada hari kiamat adalah lebih aku sukai daripada yang menjadi musuhku adalah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, ia shallallahu ‘alihi wa sallam berkata kepadaku, “Kenapa engkau tidak membantah kedustaan dari hadits-haditsku?”.

Dan kami meriwayatkan atau sampai kepada kami bahwasanya Abu Turoob An-Nakhsyabi Az-Zahid mendengar sesuatu perkataan (tentang perawi-perawi hadits) dari Imam Ahmad bin Hanbal maka iapun berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Syaikh, janganlah engkau menggibah para ulama”. Maka Imam Ahmad pun berkata kepadanya, “Celaka engkau, ini adalah nasehat dan bukan ghibah” (Uluumul hadits hal 350, Dan kisah Imam Ahmad dengan Abu Turoob An-Nakhsyabi ini diriwayatkan juga oleh Al-Khotiib Al-Bagdaadi dalam Tariikh Bagdaad XII/316)

Syu’bah berkata, “Marilah kita berghibah ria karena Allah” (Diriwayatkan oleh Al-Khothiib Al-Bagdaadi dalam Al-Kifayah hal 45)

Namun perlu diingat, janganlah seseorang tatkala semangat dalam menjarh (mencela) orang-orang yang melakukan kesalahan, mereka hanya melihat dan mencontohi bagaimana kerasnya para salaf dalam mencela para ahlul bid’ah. Namun hendaknya mereka juga melihat dan mencontohi para salaf dalam ketakwaan mereka, kewaro’an mereka, serta ibadah mereka. Para salaf tatkala mereka menjarh seorang ahlul bid’ah atau menghukumi seseorang sebagai ahlul bid’ah maka mereka menjarahnya atau menghukuminya dengan penuh ketakwaan, dan penuh sifat waro’, sehingga mereka memberikan derajat orang tersebut sesuai dengan kondisinya (haknya).

Yang sungguh menyedihkan yang terjadi di zaman ini sebagian orang menjarh saudara-saudara mereka dengan keras dan sangat mudah membid’ahkan saudara-saudara mereka tersebut namun keadaan mereka sangat jauh dari sifat waro’. Hal ini sangatlah berbahaya bagi kaum muslimin dan terlebih lagi bagi diri mereka sendiri di akhirat kelak.

Orang yang masuk dalam bab al-jarh wat ta’diil maka harus membutuhkan sifat waro’ dan ketakwaan.

Berkata Adz-Dzahabi,

وَالْكَلَامُ فِي الرُّوَاةِ يَحْتَاجُ إِلَى وَرَعٍ تَامٍ وَبَرَاءَةٍ مِنَ الْهَوَى وَالْمَيْلِ…

“Dan pembicaraan tentang para perawi membutuhkan sifat waro’ yang sempurna dan terlepasnya diri dari hawa nafsu dan kecondongan…” (Al-Muuqizhoh hal 82)

Demikian juga pembicaraan terhadap kaum muslimin pada umumnya.

Ibnu Daqiqil ‘Ied (tatkala beliau menyebutkan lima sebab timbulnya jarh (celaan) terhadap seorang rawi, kemudian tatkala beliau menyebutkan sebab terakhir yaitu yang kelima) beliau berkata, “Kesalahan yang terjadi karena disebabkan tidak adanya sifat waro’ dan menghukumi dengan persangkaan dan indikasi-indikasi yang terkadang berbeda-beda. Barangsiapa yang melakukan demikian maka ia telah masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam “Hati-hatilah kalian dengan persangkaan karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta”. Dan perkara (menghukumi seseroang dengan persangkaan dan tanpa sifat waro’-pen) ini bahayanya sangatlah besar jika yang menjarh (mencela) dikenal dengan ilmu namun rasa takwanya sedikit, karena ilmu yang dimilikinya tersebut menjadikan ia sebagai orang yang berhak (ahli) untuk didengar perkataannya dan jarhnya, akibatnya timbullah kesalahan karena kurangnya sifat waro’nya dan berhukum berdasarkan persangkaan…

Dan karena sulitnya terkumpulnya syarat-syarat ini (yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang menjarh-pen) maka besarlah bahaya pembicaraan tentang orang-orang…. Oleh karena itu aku (Ibnu Daqiqil ‘Ied) katakan,

أَعْرَاضُ الْمُسْلِمِيْنَ حُفْرَةٌ من حُفَرِ النَّارِ وَقَفَ عَلَى شَفِيْرِهَا طَائِفَتَانِ مِنَ النَّاسِ الْمُحَدِّثُوْنَ وَالْحُكَّامُ

Harga diri kaum muslimin adalah sebuah jurang dari jurang-jurang neraka, yang berdiri di tepi jurang tersebut dua kelompok manusia, yaitu para muhaddits (ahlul hadits yang berbicara tentang derajat para perawi hadits-pen) dan para qodhi (hakim)” (Al-Iqtirooh hal 301-302)

Dan perkara yang sangat berbahaya, yaitu jika ternyata tukang jarh (tukang tabdi’) tersebut dikenal memiliki ilmu, namun jauh dari sifat waro’, lisannya terkenal ceplas-ceplos, harga diri saudaranya jadi mainan dan makanan sehari-harinya dalam majelis-majelisnya. Bahkan sering menjadi bahan tertawaan…majelisnya terasa tidak sedap jika tidak diberi bumbu celaan terhadap saudara-saudaranya…,lalu perkataannya itu dijadikan pegangan oleh banyak orang. Betapa banyak beban dosa yang harus dipikulnya pada hari kiamat kelak…Wallahul Musta’aan

Praktek Jarh wa Ta’dil Diterapkan Secukupnya, Tidak Boleh Berlebih-Lebihan

Berikut ini nasehat Syaikh Abdul Malik Romadhoni –hafidzohullah- terhadap mereka yang berlebih-lebihan dalam praktek jarh wa ta’diil (Khurofat Haroki hal 12-15)
Syaikh Abdul Malik berkata, ((….Ibnu Taimiyyah berkata,…“Akan tetapi hendaknya tujuan dari pemberi nasehat adalah agar Allah meluruskan orang tersebut, dan agar Allah menghindarkan kaum muslimin dari kejelekannya, baik dalam perkara-perkara dunia mereka maupun akhirat mereka. Dan hendaknya dia menempuh jalan yang teringan yang memungkinkannya” (Majmu’ Fatawa XXVIII/221).

Mungkin maksud dari perkataan Ibnu Taimiyyah “jalan yang teringan yang memungkinkannya” adalah tidak berlebih-lebihan dan kebablasan dalam menyebutkan aib-aibnya jika tujuan dari mentahdzirnya telah tercapai. Sampai-sampai disebutkan dalam ilmu hadits dalam permasalahan ini sebuah ungkapan, الْكَلِمَةُ الأُوْلَى لَكَ وَالثَّانِيَةُ عَلَيْكَ “Perkataan yang pertama (tatkala engkau menyebutkan kejelekannya) adalah untukmu (tidak mengapa dan merupakan hakmu-pen) adapun kalimat yang kedua (tatkala engkau terus menyebutkan kejelekan-kejelekannya-pen) adalah dosa atasmu”.

Oleh karena itu dalam kitab “Tahdzibul Kamal” karya Al-Mizzi (ada sebuah kisah) dari Roja’ bin Abi Salamah berkata, “Pernah terjadi permusuhan antara ‘Ubadah bin Nusai dan seseorang. Lalu orang tersebut mengucapkan sebuah perkataan yang dibenci oleh ‘Ubadah. Kemudian ‘Ubadah bertemu dengan Roja’ bin Haywah maka iapun berkata kepada ‘Ubadah, “Aku dengar bahwasanya orang itu telah mengucapkan perkataan (yang jelek) kepadamu (apakah perkataan itu?)”. ‘Ubadah berkata kepadanya, “Kalau bukan karena hal ini merupakan ghibah maka sungguh akan aku kabarkan kepada engkau tentang perkataan (jelek) yang ia lontarkan tentang aku” (Tahdzibul Kamaal XIV/194 pada biografi ‘Ubadah bin Nusai Al-Kindi Abu Umar Asy-Syaamii Al-Urduni)

Aku (Syaikh Abdul Malik) berkata, “Semoga Allah merahmati ‘Ubadah, siapakah yang mampu untuk bersikap sedemikian bijaknya…??, siapakah yang mampu untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia ini…”, akan tetapi demikianlah sikap para salaf. Sikap ini merupakan sikap asal, karena menukil kejelekan dan keburukan orang-orang merupakan namimah, terlebih lagi jika mengakibatkan perpecahan diantara ahlus sunnah, maka perkaranya lebih menjadi lebih sangat buruk.

Dalam shahih Muslim (no 2590) dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam beliau bersabda

لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah seorang hamba menutup (aib) hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menututp (aibnya) pada hari kiamat

Ini merupakan hadits yang agung yang seyogyanya bagi setiap muslim untuk selalu mengingatnya tatkala timbul dalam dirinya keinginan untuk menang terhadap musuhnya agar ia tidak melampaui batas yang dibolehkan baginya dalam praktek tajrih –sebagaimana perincian lalu-.

Hadits ini termasuk hadits-hadits yang dilalaikan oleh sebagian penuntut ilmu yang menyangka bahwa kebaikan (keistimewaan) itu terdapat pada orang yang pertama kali mengungkapkan kesalahan seseorang yang salah kemudian menyebarkan kesalahan tersebut serta merobek tabir (penutup aib) saudaranya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya “Al-Adab Al-Mufrod” (324) demikian juga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya “As-Shomt” (260) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Adab” (247) dari Ali beliau berkata,

الْقاَئِلُ كَلِمَةَ الزُّوْرِ وَالَّذِي يَمُدُّ بِحَبْلِهَا فِي الإِثْمِ سَوَاءٌ

“Pengucap perkataan dusta sama dosanya dengan orang yang memanjangkan tali perkataan tersebut”

Dan makna dari perkataan Ali “yang memanjangkan tali perkataan tersebut” yaitu menyebarkannya, karena lafal perkataan Ali ini dalam Al-Adab Al-Mufrod

الْقَائِلُ الْفَاحِشَة وَالَّذِي يُشِيْعُ بِهَا فِي الإِثْمِ سَوَاءٌ

“Pengucap kejelekan dan orang yang menyebarkannya dosanya sama”

Bahkan dikawatirkan terhadap orang yang terburu-buru dalam permasalahan ini (terburu-buru cepat menjarh-pen) tanpa memandang nilai kehormatan seorang ahlus sunnah serta tanpa menimbang dampak-dampak (nagatif) yang akan menimpa dakwah ahlus sunnah (akibat sikap tergesa-gesanya tersebut-pen) dikawatirkan sikapnya itu merupakan sikap yang disengajanya untuk meniru-niru ahli jarah wa ta’dil dari kalangan ahlus sunnah….

Oleh karena itu para ahli jarh -dalam rangka membela syari’at- merupakan orang-orang yang paling besar rasa takut mereka kepada Allah tatkala menjarh harga diri manusia. Al-Khothiib Al-Baghdaadi dalam “Tariikh Baghdad” (II/13) telah meriwayatkan bahwasanya Imam Al-Bukhari pernah berkata, إِنِّي أَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلاَ يُحَاسِبُنِي أَنِّي اغْتَبْتُ أَحَدًا “Aku berharap aku bertemu dengan Allah dan Allah tidak menghisabku bahwa aku pernah menghibah seorangpun”

Berkata Adz-Dzahabi dalam “As-Siyar” (Siyar ‘Alam An-Nubala’ XII/439) mengomentari perkataan Imam Al-Bukhari ini, “Sungguh benar beliau (Imam Al-Bukhari) –semoga Allah merahmati beliau-. Barang siapa yang memperhatikan perkataan-perkataan beliau dalam jarh wa ta’diil maka akan mengetahui sifat waro’ beliau tatkala membicarakan (derajat) manusia dan akan mengetahui keadilan beliau terhadap rawi-rawi yang beliau dho’ifkan…”

Ibnu Bisyron meriwayatkan dalam ‘Al-Amaali” (288) dari Thowuus beliau berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap Ma’bad Al-Juhani karena sesungguhnya ia adalah Qodari (Yaitu dari sekte Qodari kelas kakap karena Ma’bad Al-Juhani mengingkari ilmu Allah yang azali-pen)”, وَكَانَ طَاوُسُ لاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِمَا يَنْبَغِي dan Thowuus tidaklah berbicara kecuali yang semestinya”

Demikianlah sikap para salaf, mereka tidaklah melalaikan hak-hak Allah dengan membela agama Allah serta juga tidak berlebih-lebihan dalam (menjarh) harga diri manusia.

Bahkan terkadang mereka (para salaf) menjatuhkan jarhnya sebagian ahli jarh jika mereka terkenal dengan sikap yang berlebih-lebihan dalam menjarh. Sebagaimana dalam “Tahdzibul Kamal” (XX/168) karya Al-Mizzi bahwasanya Ali bin Al-Madini berkata, “Abu Nu’aim dan ‘Affaan adalah dua orang yang jujur, aku tidak menerima perkataan mereka berdua dalam permasalahan para perawi, karena mereka tidak meninggalkan seorangpun kecuali mereka berbicara tentang kejelekannya”

Berkata Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi –semoga Allah merahmati beliau- di muqoddimah kitab “Al-Jarh wat Ta’diil” -karya Ibnu Abi Hatim-, “Ada pembesar-pembesar dan orang-orang yang mulia dari ahli hadits yang berbicara tentang (derajat) para perawi hadits namun perkataan mereka tidak dijadikan patokan dan tidak dipandang”, kemudian beliau menyebutkan atsar yang lalu (yaitu perkataan Ali bin Al-madini) dan berkata setelahnya –dengan kepandaian beliau serta istimbat beliau yang tajam-, “Abu Nu’aim dan ‘Affan termasuk para pembesar ahli hadits. Dan perkataan Ali bin Al-Madini menunjukan bahwa banyaknya perkataan-perkataan mereka tentang para perawi hadits, namun meskipun demikian hampir-hampir tidak ditemukan dalam buku-buku jarh wa ta’diil sedikitpun penukilan dari perkataan-perkataan mereka”

Abu Nu’aim adalah Al-Fadhl bin Dukain dan ‘Affan adalah bin Muslim –semoga Allah merahmati keduanya-. Kedudukan mereka dalam ilmu hadits telah diketahui bersama. Jika hal ini (tidak dipandangnya perkataan mereka) diterapkan pada para pembesar ahlul hadits maka bagaimana lagi terhadap orang–orang yang rendah agama mereka???

Sebagaimana juga para salaf tidaklah bergembira jika menemukan kesalahan seorang ahlus sunnah. Bahkan hati mereka yang bersih mengantarkan salah seorang dari mereka terkadang mendebat saudaranya dengan harapan bahwasanya dialah yang bersalah bukan saudaranya. Ibnu Hibban telah meriwayatkan dalam shahihnya (V/498) dengan sanad yang shahih dari Hasan Az-Zagfarooni beliau berkata, “Aku mendengar (Imam) Asy-Syafi’i berkata, مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَط فَأَحْبَبتُ أَنْ يُخْطِئَ “Tidaklah aku mendebat seorangpun lantus aku senang kalau dia yang bersalah” ….))

Catatan :

Perkataan Imam Asy-Syafi’i ini berlaku jika perdebatan yang terjadi adalah antara sesama ahlus sunnah. Adapun jika seorang ahlus sunnah mendebat Ahlul bid’ah maka hendaknya dia senang jika keborokan ahlul bid’ah tersebut terungkap dihadapan masyarakat.

Ibnu ‘Asakir dalam bukunya “Tabyiin Kadzibil Muftari” (hal 340) menukil dari Al-Hasan bin ‘Abdil Aziz Al-Jarowi berkata, “Aku mendengar (Imam) Asy-Syafi’i berkata, مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا فَأَحْبَبتُ أَنْ يُخْطِئَ إِلاَّ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فَإِنَِّي أُحِبُّ أنْ يَنْكَشِفَ أَمْرُهُ لِلنَّاسِ “Tidaklah aku mendebat seorangpun lantus aku senang kalau dia yang bersalah, kecuali ahlul bid’ah maka aku ingin agar kesalahannya terungkap dihadapan manusia”

Karena terungkapnya kesalahan ahlul bid’ah dihadapan manusia merupakan pertolongan bagi sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Dan memberantas akar-akar syubhat para perusak (diantaranya ahlul bid’ah) merupakan perkara yang dituntut dalam syari’at. Tidakkah engkau lihat bahwasanya Allah memuji diriNya setelah memusnahkan orang-orang zholim hingga ke akar-akarnya

فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (الأنعام : 45 )

Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. (QS. 6:45)

Jika demikian, maka siapakah dari kalangan ahlus sunnah yang tidak gembira jika ahlul bid’ah terungkap keborokan-keborokannya???

Oleh karena itu Al-Khollaal dalam As-Sunnah (1896) meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Bakar Al-Marwadzi beliau berkata, “Dikatakan kepada Abu ‘Abdillah –yaitu Imam Ahmad-, “Seseorang gembira dengan apa yang menimpa para sahabat Ibnu Duaad – yaitu seorang mubtadi’ yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk- apakah ia berdosa??. Imam Ahmad berkata, “Siapakah yang tidak gembira dengan hal ini??” (Lihat Khurofat Haroki hal 14-15)

Mencela dan Merendahkan Harga Diri (Kehormatan) Seorang Muslim Tanpa Hak (Tanpa Alasan Syar’i) Merupakan Dosa Besar.

 

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga dirinya (HR Muslim IV/1986 no 2564)

((فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا))  فَأَعَادَهَا مِرَارًا

((Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengulang-ngulangi perkataan beliau ini” (HR Al-Bukhari II/619)

Berkata Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada hari-hari yang lain sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini di tanah ini (tanah suci Mekah)…” (Tuhfatul Ahwadzi VI/313)

Berkata Imam An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam ini semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa (harta), dan kehormatan, dan untuk memperingatkan akan hal ini” (Al-Minhaj Syarh shahih Muslim XI/169)

Berkata Al-Munawi, “Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu (ucapanmu) maka janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudhorot kepada mereka” (Faidhul Qodiir I/523)

Sebagaimana kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta (seperti mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harga dirinya. Maka kita tidak boleh mencelanya, menghinanya, atau menjatuhkannya. Bahkan pelanggaran yang berkaitan dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan harta. Seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai daripada jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa hak. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda (dari hadits Sa’id bin Zaid y),

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak (HR Abu Dawud IV/269 no 4876 bab في الغيبة. Berkata Ibnu Hajar, “Dan hadits Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki syahid sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah” (Al-Fath X/470). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3950)

Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi, أَرْبَى الرِّبَا  “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim, maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya, semisal menunduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta” (‘Aunul Ma’bud XIII/152)

Berkata Ibnul Atsir, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta menggibahi mereka” (An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145)

Berkata Al-Baidhowi, “الِاسْتِطَالَةُ (Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya sebagaimana perkataannya kepadanya, atau lebih dari rukhsoh yang diberikan. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at ataupun menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya dan lebih besar bahayanya dari pada harta” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531)

Berkata Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً

“Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom :172, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami’ 3375)

Asy-Syaukani mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan….dan seterusnya)), menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah. Karena senilai maksiat zina yang  merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa maksiat tersebut telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan keledzatan dalam ucapannya tersebut dan tidak tidak menambah hartanya serta tidak juga meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar dari pada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari hal ini)….amin..amin.” (Nailul Author V/297)

Sebagian orang tidak bisa mengendalikan lisannya, tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tidak peduli siapapun yang sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya, tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.

Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubuhnya” (Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337)

Bahkan para ulamapun tidak selamat dari lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat dari lisannya bahkan ulama masa lalupun tidak selamat dari lisannya.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka dan ia tidak perduli dengan perkataan tersebut maka iapun terjerumus dalam neraka Jahannam” (HR Al-Bukhari V/2377 no 6113)

Dia tidak tahu bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan  dan ia lecehkan kedudukannya disisi Allah sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut yang terasa sangatlah ringan di lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ (النور : 15 )

Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)

Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut atau merendahkan kedudukannya dan harga dirinya bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak yang seukuran gunung yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan…

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka”
(HR Muslim IV/1997 no 2581)

Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

Bukankah tidak ada yang menyebabkan manusia terjungkal di atas wajah-wajah mereka dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ? (HR At-Thirmidzi V/11 no 2616 dan Ibnu Majah II/1314 no 2973 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1122)

Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam:

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan. (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain)

Kalau maksiat yang ia lakukan berkaitan antara ia dan Allah maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah, mudah bagi Allah untuk mengampuninya jika Ia menghendaki. Namun jika kedzoliman berkaitan dengan hak manusia….ketahuilah bahwa semuanya membutuhkan hasanaat (kebaikan) pada hari kiamat…, semuanya butuh untuk menyelamatkan dirinya dari api neraka…

Berkata Ibnu Taimiyyah, “Adapun hak orang yang terdzolimi maka tidaklah gugur hanya dengan sekedar bertaubat…barangsiapa yang bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah gugur hak orang yang terdzolimi dengan taubatnya tersebut, akan tetapi merupakan kesempurnaan taubatnya hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti kedzoliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang berbuat dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik hingga jika orang-orang yang didzoliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak diakhirat sebagai penebus hak-hak mereka) maka ia tidak jadi orang yang bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka tidak ada yang menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia kehendaki…

Dan ghibah merupakan kedzoliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah telah memperingatkan kaum mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan kedzoliman…” (Majmu’ fatawa XVIII/187-189)

Tidakkah ia tahu bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya?, tidakkah ia tahu bahwasanya orang yang ia ghibahi dan ia lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah para hari kiamat kelak…??

Bagaimana lagi jika ia telah menjatuhkan harga diri banyak orang…??

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ

“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing yang bertanduk diqishos untuk kambing yang tidak bertanduk” (HR Muslim IV/4997 no 2582)

Tidakkah ia tahu bahwa…

إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kedzoliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat” (HR Muslim IV/1996 no 2579)

Oleh karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang muslim tanpa hak maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang melakukan kedzoliman kepada seseorang baik berkaitan dengan harga dirinya atau yang lainnya maka hendaknya ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan tidak juga dirham. Jika ia memiliki amalan sholeh maka akan diambil darinya sesuai dengan ukuran kedzolimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut dan dipikulkan kepadanya” (HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga V/2394 no 6169)

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadits ini menunjukan bahwa perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang dibenarkan merupakan perbuatan yang berbahaya.

Ibnus Solaah berkata, ((Kemudian wajib bagi orang yang berkecimpung dalam hal ini (jarh wa ta’diil-pen) untuk bertakwa kepada Allah, dan bertatsabbut (mengecek dengan baik), dan menjauhi sifat tasahul (terlalu mudah dalam mencela) agar ia tidak menjarh seorang yang selamat (dari celaan tersebut) dan tidak mensifati seseorang yang tidak bersalah dengan sifat yang buruk kemudian sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang tersebut hingga hari kiamat…Apa yang kami riwayatkan atau kami sampaikan bahwasanya Yusuf bin Al-Hasan Ar-Roozi As-Shuufi menemui Ibnu Abi Hatim dan ia sedang membaca buku karyanya tentang al-jarh wat ta’diil. Maka Yusufpun berkata kepadanya, “Betapa banyak dari mereka (yaitu orang-orang yang tercantum dalam buku Ibnu Abi Hatim al-Jarh wat Ta’diil) yang telah menempati tempat-tempat mereka di surga semenjak seratus atau dua ratus tahun yang lalu dan engkau masih sibuk menyebut-nyebut mereka dan menggibah mereka”. Maka Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim) pun menangis.

Dan telah sampai kepada kami juga bahwasanya tatkala ia (Ibnu Abi Hatim) sedang membacakan kitabnya Al-Jarh wat Ta’diil kepada orang-orang maka disampaikan kepadanya kabar dari Yahya bin Ma’in bahwasanya ia berkata, “Sesungguhnya kita sedang mencela orang-orang yang mungkin saja mereka telah menempati tempat-tempat mereka di surga semenjak dua ratus tahun lebih”. Maka Abdurrahman (bin Abi Hatim) pun menangis dan kedua tangannya gemetar hingga jatuhlah kitab (yang sedang dibacanya) dari tangannya)) (Uluumul hadits 350-351)

Semoga Allah membimbing kita semua menuju jalan yang benar.

 

Madinah, 29 Dzul Hijjah 1431 / 05 Desember 2010

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/207-praktek-jarh-wa-tadiil-membutuhkan-taqwa-dan-waro.html